Popular Post

Archive for 2015

Amore #4 : The 6th Nganget International Work Camp | Nganget, 11 - 25 August 2015

By : Unknown



As the starting point, Nganget International Work Camp is an annual program held by Leprosy Care Community University of Indonesia. This is my second work camp since I joined IWC here last year. The great experience and happiness I got last year is the reason why I have to come again to Nganget, meet the villagers and also join the 6th NIWC this year. All praises for God who give me this tremendous opportunity. He lets me do the effort harder and better to decrease the discrimination in ex leprosy patients’ life. He completes it by the existance of Indonesian and Japanese campers who work together to success the work camp.
Before going to this work camp, I got a complicated situation. I should attend a two weeks English course program in Pare on the same date as NIWC. It was a little bit difficult to get the permittion to leave the course at first. Fortunately, by giving the clear explanation and convincing the committee I was allowed to leave the course. Soon, I go to Nganget to join the work camp.
Arriving at the village, the friendly atmosphere was suddenly surrounding me. It felt relieved that some of the villagers still remembered me. And it was still being an unforgettable moment since they treated me well as their part of family. I was so glad that the villagers really welcomed to the campers’ coming.
Here I intentionally use Pak, Bu, Mbah or other local initial since our heart are close frome those initial. First, I came to my grandfather’s room in Panti, Mbah Wariman. I was so happy because finally I could meet him again. I worried about him so much since I heard he was sick and treated in the hospital few times ago. I lost contact with him for about a half year because Pak Yono passed away. There was a dissapointed moment for me, I broke my promise for coming to his room in a morning and eating ketan together, just because I forgot about it. I was really sorry for Mbah Wariman because he had bougth me ketan. L. Fortunately, Mbah Wariman is an easy going person so actually he didn’t matter it so much. He just ate the rest of ketan for his lunch. But still, I feel guilty.
Another story about him is, I don’t know why he thought that I and Adin were alike. He assumed that I and Adin was the same person and tried to trick him. He asked us to come together and we made it. Unintentionally I came when Adin was visiting him. It obviously proved that we are different, starting from our physical appereance to family. I said to my self, “OMG mbah, what’s going on? Are you really getting older and older so you got senile and forget the real me? :D”. I spend most of my morning time to visit him before starting the activities and some times I slept in him room.
I tried to stay closer among another villagers. Pak Jan’s familly was really kind and humble to me. I often took a bath and pray in his house when the public facilities was crowded. They really welcomed to me. I felt at home there. At some times, I ate at his house twice with Ade at first and Arum at second. At the last time, with Arum, we found that some ants were inside his food. We felt so sad about it. But, Pak Jan and his familly has the great gratitude feeling in their life so they can accept all the condition. Hope I can do as well as them.
Since last year, I was close to Wawan’s family, especially with his mother, Bu Hamidah. She often told me her life story and difficulty. She ever told me one difficulty she faces right now. Since I think it is the internal problem, I may not tell it freely in public. I really wanna help her to overcome the problem and I’ll try to find a way.
After going home, I get the new thought about the work camp. It is a bit different from last year. After joining the 5th IWC a year ago, in my opinion the only one who needs more is the villagers or ex-leprosy patients. The campers only helped them to raise their joy in life. But, right now after attending this 6th NIWC, i realize that not only them, but also the campers and me. They may need my presence to gather and feel happy. Moreover, I also think that I also need them to get my happiness. We need each other, like the mutualism symbiosis.
Eventually, at last I feel so happy to gather the 6th Nganget International Work Camp. I may not be anyone but I’m proud of being a part of these amazing people and stand in line together with them. I may be not good at writing but the most important I think is that I save all those memorable moments in my life and I will recall them from my mind whenever and wherever I miss them.


Amore #6 : SAJISAPO – 1 JIWA 1 POHON 2015 | Pamekasan, 4 – 5 Desember 2015

By : Unknown




Hi, Madura...
Pamekasan, here I am ....
Ini adalah kali ketiga saya menginjakkan kaki di tanah Madura, Pulau Garam. Destinasi saya kali ini adalah menuju kampus Universitas Islam Madura yang terletak di Kabupaten Pamekasan dalam rangka mengikuti kegiatan berjudul SAJISAPO 2015 (Satu Jiwa Satu Pohon). Rombongan saya dengan teman-teman dari UIN Sunan Ampel Surabaya total berjumlah 12 orang. Selanjutnya, kami berangkat bersama dengan teman-teman dari jurusan matematika universitas lainnya, yaitu UNESA, UNIPA, dan lainnya.
Kegiatan Sajisapo 2015 diselenggarakan oleh IKAHIMATIKA (Ikatan Himpunan Mahasiswa Matematika) wilayah V, bekerja sama dengan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Matematika dan IPA UIM. Sajisapo 2015 dilaksanakan atas dasar kepedulian mahasiswa matematika dengan permasalahan lingkungan serta global warming yang sudah terjadi sejak beberapa tahun silam. Sajisapo 2015 merupakan rangkaian kegiatan yang terdiri dari Seminar Nasional dan penanaman 200 pohon di Pamekasan.

Perjalanan kami dari Surabaya ke Pamekasan membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam dengan naik motor. Sekitar pukul 1 siang kami tiba di tempat tujuan, bertepatan dengan pembukaan kegiatan sajisapo. Acara pertama setelah pembukaan yakni Seminar Nasional tentang lingkungan hidup dan konservasi alam. Dengan menghadirkan dua orang pemateri berkompeten, masing-masing dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan Dinas Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pamekasan, seminar nasional ini berjalan lancar dan diakhiri setelah sesi tanya jawab, tepat jam 4 sore.
Informasi yang saya dapatkan dari seminar ini adalah bahwa saat ini pemerintah sedang menyiapkan meuwujudkan Green City. Program ini mengusahakan 30% lahan dari suatu kota merupakan lahan hijau. Komposisinya adalah 20% dari lahan milik umum dan 10% dari lahan milik pribadi. Melalui program tersebut, Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki banyak hutan, sedang disiapkan untuk membantu menyelesaikan persamalahan global warming di bumi. Jika program ini berjalan lancar, ekspektasi yang ingin dicapai yakni efek pemanasan global akan berkurang 20% pada tahun 2020. Hope so.. ^^ Daerah Pamekasan sendiri telah memulainya dengan menggalakkan aksi Limajisapo (Lima Jiwa Satu Pohon) yang diperuntukkan pelajar-pelajar di sekolah.

Terdapat 4 indikator untuk menilai lingkungan yang baik, yaitu udara, tanah, air dan manusia. Keempat komponen tersebut sebisa mungkin terbebas dari dampak aktivitas manusia itu sendiri. Pengelolaan sumber daya alam memang dianjurkan demi mewujudkan kesejahteraan manusia, tetapi pengelolaan tersebut hendaknya tetap dalam batas wajar dan tidak melewati batas toleransi yang diizinkan. Sehingga, manusia sebagai komponen keempat yang memegang peranan paling penting dari lingkungan, seharusnya menyadari bahwa sangat perlu adanya perlindungan dan konservasi sumber daya alam demi menjaga stabilnya tiga komponen lingkungan lainnya.  

Lelah setelah seharian dalam perjalanan dan langsung mengikuti seminar nasional, saya dan peserta lainnya diarahkan menuju sebuah hotel dekat alun-alun Pamekasan, seingat saya hotel Malindo namanya. Hotel sederhana tersebut yang lebih mirip dengan losemen merupakan bangunan tingkat dua dan terdapat sekitar 10 kamar pada masing-masing lantai. Saya dan beberapa teman menempati kamar 205. Kamar berdinding coklat tersebut nyaman dan lumayan memanjakan kami  karena cukup luas dan terdapat 2 kasur, 1 televisi dan 1 kipas angin menempel di dinding.
Setelah bersih diri, sekitar jam 7.30 malam, kami semua digiring menuju alun-alun Pamekasan untuk melakukan ramah tamah dan perkenalan dengan teman-teman mahasiswa matematika dari berbagai universitas. Keadaan cukup ramai dan menyenangkan, hingga pada saat kami harus kembali ke hotel karena langit malam kurang bersahabat saat itu. Setelah sampai di hotel, saya sendiri lebih memilih untuk membaca buku dan tidur sesaat kemudian.



Di pagi hari, kegiatan kami dimulai sekitar pukul 6.30 pagi. Kami semua berangkat menuju kantor Dinas Pertanian setempat untuk melaksanakan inti dari Sajisapo 2015, yakni agenda penanaman pohon di sepanjang jalan. Kegiatan tersebut dibuka dengan sambutan Bupati Pamekasan yang diwakili oleh Bapak Sekda. Setelah itu, kami semua langsung menyebar di sepanjang jalan untuk menanam pohon. Satu Jiwa Satu Pohon, yang artinya masing-masing orang menanam satu pohon untuk masa depan. 


Kegiatan Sajisapo 2015 diakhiri dengan musyawarah kecil. Dan setelahnya semua peserta bergegas kembali ke rumahnya masing-masing. Termasuk rombongan kami yang harus segera kembali ke Surabaya dan terguyur hujan. ^_^
Banyak hal menarik yang saya dapatkan dari perjalanan saya kali ini. Pertama, saya sangat mengapresiasi IKAHIMATIKA yang telah menyelenggarakan kegiatan ini. Hal tersebut membuktikan bahwa mahasiswa matematika bukanlah mahasiswa yang hanya sibuk dengan pembuktian rumus (yang banyak orang berpikiran hal tersebut “kengangguren”), tetapi mahasiswa matematika juga mahasiswa yang peduli dan peka dengan kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sajisapo 2015 merupakan wujud bakti mahasiswa matematika kepada Negeri. Kedua, ini tentang Pamekasan, Kota Gerbangsalam (Gerakan Pembangunan Masyarakat Islam). Menurut saya, Pamekasan sangat luar biasa. Tata kota terlihat cukup rapi. Ada hal unik dari upacara pembukaan kegiatan di Pamekasan. Ketika pembukaan penanaman pohon oleh Sekda Pamekasan, terop dan panggung ditata secara sederhana menghadap jalan raya. Kami peserta berkumpul di pinggir jalan raya. Dan kendaraan pun masih lalu lalang ketika acara dimulai (tetapi pengendara melambatkan laju kendaraan). Cukup berbeda dengan pembukaan yang ada di Surabaya dan kota kelahiran saya, Jombang. Karena kebanyakan pembukaan yang dihadiri oleh pejabat biasanya disusun sedemikian mewahnya. Hahahaha...
Sajisapo 2015... Luar biasa...
1 kata untuk IKAHIMATIKA... Jaya...
2 kata untuk IKAHIMATIKA... Jaya Selalu...
3 kata untuk IKAHIMATIKA... Jaya Selalu Merdeka...
Salam matematika... Aktif, Kritis, Kreatif...





Amore #5.1 : Pure Amerta Buana, Proofing of Harmony

By : Unknown


- Ketulusan Ada Pada Hati yang Menghadap Tuhan –
Bapak Kirno, Pimpinan Pure Amerta Buana Jombang

Begitulah kalimat penutup beliau ketika memberikan sambutan atas kedatangan peserta Interfaith Youth Camp 2015 pada Minggu, 20 September 2015. Kalimat luar biasa, refleksi rasa pasrah dan keikhlasannya dalam beribadah kepada Tuhan.
Dalam beberapa paragraf selanjutnya, saya akan menceritakan tentang beliau, secuplik pengetahuan tentang Hindu, tingkah polah dalam masyarakat serta keharmonisan dalam umat beragama yang heterogen.
Tentang Bapak Kirno
Cukup singkat namanya, tetapi cukup menginspirasi. Beliau adalah pengurus atau pimpinan masyarakat Hindu di desa Ngepeh, Jombang. Bapak kelahiran Blitar ini merupakan salah satu dari sekian agen perdamaian yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Pak Kirno angon suket ijo (berhijrah) ke Jombang dan pada tahun 1986 mendirikan Pure Amerta Buana di desa tersebut. Ada 3 alasan ajaran agam yang mendasari hijrah Pak Kirno, yaitu Tatuamasi (pelajaran bahwa semua orang adalah sama, saya sama dengan kamu), Tri Para Karta (3 perilaku yang membuat sejahtera) dan Tri Hita Karana (3 Penyebab Manusia Hidup Sejahtera). Menjadi satu-satunya penganut agama Hindu saat itu merupakan tantangan yang luar biasa. Tetapi kepasrahannya pada Tuhan melancarkan jalannya hingga beliau dan Hindu tetap damai hidup di tanah Jombang saat ini.


Sejarah Berdirinya Pure Amerta Buana dan Kerukukan Masyarakat Lintas Agama
Sebagai pembuka, Pak Kirno menyatakan bahwa Hindu di Jawa Timur khususnya Jombang ini tidak terlepas dari keeksisan Kerajaan Majapahit pada zamannya dahulu. Tentang Pure Amerta Buana, pure tersebut juga tidak serta merta didirikan dan ada oleh Bapak Kirno. Terdapat pula cerita teladan yang melatar belakangi pembangunan pure ini. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa desa Ngepeh memiliki komposisi masyarakat heterogen dalam hal kepercayaan atau agama. Umat Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha bersatu berkumpul di desa tersebut.
Tahun 1972, dibentuklah suatu forum persaudaraan umat yang kemudian dinamai Paguyuban Kerukunan Agama Budi Luhur. Ketua paguyuban akan berganti setiap 2 tahun sekali. Paguyuban ini menjadi wadah komunikasi umat beragama, khususnya dalam dialog karya yang kemudian memunculkan program-program bersama. Program yang sudah terlaksana diantaranya adalah koperasi simpan pinjam, pemberdayaan usaha kecil, pemberian santunan kepada anak-anak yang kurang beruntung serta pemberdayaan petani.
Pada 2004, terbentuk satu seksi paguyuban yang baru yakni seksi komunikasi dengan program pendirian radio suara Budi Luhur. Radio ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat desa terhadap rencana sweeping. Beruntung, usaha warga membuahkan hasil yang gemilang. Di samping program formal tersebut, sebagai wujud kerukunan dan keharmonisan masyarakat di desa Ngepeh, warga non islam sering ikut melakukan kunjungan selama hari raya Idul Fitri dan mengantar makanan ke warga lintas agama lainnya. Juga, warga non Hindu ikut berpartisipasi dalam perayaan Hindu di sana, serta banyak kegiatan kerukunan yang lainnya.
Desa Ngepeh merupakan satu-satunya desa di Jombang yang tersusun dari masyarakat dengan banyak latar belakang agama yang berbeda dan tetap harmonis serta rukun dalam kesehariannya. Keharmonisan desa ini menjadi wujud nyata Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Satu pesan terakhir yang diamanatkan Bapak Kirno kepada kami, “Pancasila, masukkanlah dia dalam hatimu, bukan dalam kantong kresek genggamanmu”.

Refleksi
Setelah cukup panjang lebar yang saya ulas di atas, hendaknya marilah kita semua sejenak memikirkan kembali tentang perbuatan kita yang telah lalu. Sudahkah kita menghormati mereka yang berbeda dengan kita? Sudahkan kita menyadari bahwa lebih indah bersatu daripada terpecah belah? Sudahkah kita berpikir bahwa perdamaian itu tugas kita semua?
So guys, it’s time to be peace agent. Let’s spread out this big spirit around the world. No more discrimination, Welcome PEACE ^^

[Note]
Ulasan ini merupakan ringkasan penting dari sambutan Bapak kirno. Bukankah lebih baik jika catatan ini juga mendapat penyempurnaan dari kalian? Jika terdapat suatu kesalahan tulisan ataupun informasi, itu adalah murni kelalaian saya.
So, please fell free to contact me ya and I’ll correct it.


Nur Fitriatul Mahrojiyah
Mathematics Education, 2013
UIN Sunan Ampel Surabaya

- Copyright © The Arc Mathematics - Date A Live - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -